PENGADAAN
RUANG TERBUKA HIJAU KOTA UNTUK MEWUJUDKAN KOTA YANG BERBASIS SUSTAINABLE CITY
Oleh:
Ahmat Nurul Fauzar
Jurusan
Pendidikan Geografi
Fakultas Ilmu
Sosial
Universitas Negeri
Malang
ABSTRAK
Pengembangan dan pengadaan Ruang Terbuka Hijau Kota
dirasa sangat penting bagi setiap kota, karena hal ini akan sangat berfungsi
terhadap kondisi lingkungan kota. Tidak hanya dirasa penting, bahkan ini akan
menjadi sebuah kebutuhan tersendiri bagi setiap kota, karena Ruang Terbuka
Hijau Kota adalah suatu konsep dimana
Ruang Terbuka Hijau Kota bertujuan untuk
memberikan kelengkapan dari aspek lingkungan kota. Ruang Terbuka Hijau pada hakikatnya
merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting serta dengan
unsur kota lainnya dan memiliki pengaruh sangat positif bagi lingkungan sekitar.
Konsep Ruang Terbuka Hijau Kota ini adalah salah satu bentuk reaksi terhadap
segala problem-problem yang berbentuk pencemaran maupun polusi yang bisa saja
timbul dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh manusianya dan sekaligus
subjek kontrol dalam rangka pembentukan lingkungan kota yang bersih dan teratur
serta berbasis cinta lingkungan maupun sustainable city.
Keyword: ruang terbuka hijau
kota, konsep, lingkungan, sustainable city
PENDAHULUAN
Isu-isu mengenai
masalah lingkungan hidup yang semakin menjadi
bahasan yang sangat menarik dewasa ini. Salah satu
permasalahan yang kini dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia adalah
semakin berkurangnya ruang
publik, terutama Ruang Terbuka
Hijau ( RTH
) publik. Kota-kota
besar pada umumnya
memiliki ruang terbuka hijau
dengan luas dibawah
10% dari luas
kota itu sendiri. Melihat kondisi keruangan pada kota-kota besar
seperti saat ini, terlihat jelas sekali,
bahwasannya betapa minimnya lahan kota yang berwarna hijau, yang menandakan akan kurangnya wilayah Ruang
Terbuka Hijau maupun Taman Hijau
Kota. Padahal, berdasarkan KTT
Bumi di Rio
de Janeiro, Brazil (1992)
dan dipertegas lagi
pada KTT Johanesburg Afrika
Selatan 10 tahun kemudian (2002),
disepakati bersama bahwa sebuah
kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30
% dari total luas
kota(koran-jakarta.com, November 2012). Proporsi 30%
luasan ruang terbuka
hijau kota merupakan ukuran
minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem kota
baik keseimbangan sistem hidrologi
dan keseimbangan mikroklimat,
maupun sistem ekologis
lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih
yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus
dapat meningkatkan nilai estetika kota (Putri, dkk., dalam Hakim,2004).
Namun pembangunan, perencanaan, maupun pengembangan
terhadap Ruang Terbuka Hijau Kota tampaknya
bagi kota-kota di Indonesia
pada umumnya akan sulit
terealisir karena akibat terus
adanya tekanan pertumbuhan dan
kebutuhan sarana dan prasarana
kota, seperti pembangunan bangunan
gedung, pengembangan dan penambahan
jalur jalan yang terus
meningkat serta peningkatan jumlah
penduduk. Kalaupun itu bisa terlaksana, maka itu akan berjalan sangat
lambat, karena pengembangan RTH Kota-kota besar dirasa sangat kurang,
penyebabnya adalah terlalu menonjolnya pembangunan-pembangunan sarana dan
prasarana terutama seperti pengembangan jalan-jalan tambahan, infrastruktur
bangunan-bangunan besar, serta tambahan bangunan-bangunan penduduk di
sekitarnya, yang menambah jumlah prosentase menurunnya realisasi pengadaan dan
pembangunan Ruang Terbuka Hijau di kota-kota besar.
Permintaan akan pemanfaatan lahan
kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk pembangunan berbagai
fasilitas perkotaan, termasuk
kemajuan teknologi, industri dan
transportasi, selain sering mengubah
konfigurasi alami lahan/ bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan
tersebut dan berbagai bentukan ruang
terbuka lainnya (Lokakarya RTH,
2005). Ruang-ruang kota
yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai
berbagai pendekatan dalam
perencanaan dan pembangunannya. Tata
guna lahan, sistem transportasi,
dan sistem jaringan utilitas merupakan
tiga faktor utama dalam
menata ruang kota.
Masalah pada pengadaan ruang hijau
pada kota seiring berjalannya waktu kian sulit dan rumit. Karena pada dasarnya
penempatan ruang di sisi dan sudut kota juga kian menyempit, sehingga ruang
pembangunan di kota masih didominasi oleh hutan beton serta perumahan-perumahan
elit.
Dalam perkembangan selanjutnya,
konsep ruang kota selain dikaitkan
dengan permasalahan utama
perkotaan yang akan dicari
solusinya juga dikaitkan
dengan pencapaian tujuan
akhir dari suatu
penataan ruang yaitu
untuk kesejahteraan, kenyamanan,
serta kesehatan warga dan
kotanya. Ruang terbuka hijau
kota memiliki hanyak
fungsi antara lain sebagai
area rekreasi, sosial budaya, estetika,
fisik kota, ekologis
dan memiliki nilai ekonomis
yang cukup tinggi bagi manusia maupun bagi pengembangan
kota (Silalahi dalam Irwan, 2007).
Dalam rangka
mendukung pengendalian pencemaran yang sangat berpotensi di wilayah
kota, seperti pencemaran udara, diperlukan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) maupun Ruang Taman Kota yang mampu
memulihkan pencemaran udara, antara lain melalui penetapan
kawasan lindung.
Ruang terbuka
hijau kota memiliki hanyak fungsi
antara lain sebagai
area rekreasi, sosial budaya,
estetika, fisik kota, ekologis
dan memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi bagi
manusia maupun bagi pengembangan
kota, Akibat meningkatnya pertumbuhan
penduduk serta berbagai aktifitas kota menyebabkan berkurangnya ruang
terbuka hijau kota dan
menurunnya kualitas lingkungan hidup yang
mengakibatkan terjadinya
perubahan ekosistem alami
sehingga fungsi dari ruang terbuka hijau tidak dapat dipenuhi.
METHOD
Penelitian tentang
Ruang Terbuka Hijau
pada kawasan pusat
kota ini merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan
positivistik yang memandang
suatu permasalahan dalam
konteks lingkungannya (Putri,
dkk. dalam Groat dan Wamg,
2002). Metode yang dipakai adalah pengumpulan data sekaligus
penganalisaan hasil sampel pengumpulan data proporsi Ruang Terbuka Hijau dari beberapa
kota-kota di Indonesia yang telah dihimpun. Yang selanjutnya dari data-data
tersebut bisa dianalisis bahwa seberapa besar proporsi dan kuantitas daripada hasil
data tersebut yang menunjukkan tingkat pengembangan dari Ruang Terbuka Hijau
ini sudah sejauh mana perkembangannya.
RESULT
Dibawah
ini merupakan data dari hasil pengumpulan data terhadap perkembangan proporsi
Ruang Terbuka Hijau di kota-kota besar Indonesia.
Tabel 1.1
PROPORSI RUANG
TERBUKA HIJAU DI KOTA-KOTA BESAR INDONESIA
No
|
Nama Kota
|
Proporsi RTH
|
1
|
Jakarta
|
9,97 %
|
2
|
Bandung
|
8,76 %
|
3
|
Bogor
|
19,37 %
|
4
|
Surabaya
|
9%
|
5
|
Surakarta
|
16%
|
6
|
Malang
|
4%
|
7
|
Makassar
|
3%
|
8
|
Medan
|
8%
|
9
|
Jambi
|
4%
|
10
|
Palembang
|
5%
|
Rataan luas RTH di kota-kota Besar di Indonesia
|
8,69%
|
Sumber : Nirwono
Joga, Aspek Lingkungan
dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, presentasi
dalam Workshop Nasional
Pembangunan Kota yang
Berkelanjutan , Jakarta 1 Oktober 2009
Penurunan
kualitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun
terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan
Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970an menjadi
kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi
menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung
perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan
luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2,
relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya Ruang Terbuka (RT),
tak harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun syaratnya
harus mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan
alun-alun. Tanpa RT bahkan RTH, maka lingkungan kota akan menjadi ‘Hutan Beton’
yang gersang, akibatnya kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi sebab
tidak layak huni (Silalahi dalam Purnomohadi, 2001).
Dalam masalah perkotaan, RTH
merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan.
RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi
berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi :
1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang
memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara
(paru-paru kota), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air
secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen,
penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media
udara, air dan tanah, serta penahan angin.
2. Fungsi sosial, ekonomi
(produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH
merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan
penelitian.
3. Ekosistem perkotaan; produsen
oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian
dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain.
4. Fungsi estetis, meningkatkan
kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah,
lingkungan permukiman, maupun makro, lansekap kota secara keseluruhan). Mampu
menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi
secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan
sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan
psikis. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai
bangunan gedung, infrastruktur jalan
dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan,
taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru
bantaran kali (Silalahi dalam Purnomohadi, 2001; Lokakarya RTH, 2005).
Secara umum ruang terbuka publik
(open spaces) di perkotaan terdiri
dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan,
tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat
ekologis, sosial budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi
(kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya RTH, 2005). Sementara itu ruang
terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB)
yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan
khusus sebagai area genangan (retensi/ retention
basin). Di dalam Ruang terbuka non-hijau yang diperkeras (paved) inilah pada umumnya didirikan air
mancur (Purnomohadi, 2001).
Keberadaan RTH penting dalam
mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian
pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan
berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan (Lokakarya
RTH, 2005). Maka harusnya RTH juga menjadi sebuah pedoman untuk mengetahui
keefektifan dari RTH itu sendiri terhadap perkembangan kemajuan kota tersebut.
Karena RTH adalah salah satu elemen dimana lingkungan itu bisa mengikat
struktur-struktur dan sitem-sistem yang ada di dalamnya, sehingga hubungan ini
akan sangat berpengaruh.
Pembangunan dan pengembangan
hutan kota perlu dilakukan dengan pendekatan bentuk dan struktur karena bentuk
dan struktur hutan kota mempunyai hubungan yang menguntungkan dengan kualitas
lingkungan di sekitarnya dan mempercepat serta mempermudah pelaksanaan
pembangunan, pengembangan maupun pemeliharaan hutan kota(Sundari, tanpa tahun).
Berikut
Adalah beberapa manfaat yang diperoleh dari pengadaan ruang terbuka hijau kota:
1. Manfaat Estetis
(Dewiyanti dalam Nazaruddin, 1994).
Diperoleh dari
keindahan dan keserasian penataan
tanaman -tanaman dalam ruang terbuka hijau.
2.
Manfaat Orologis
(Dewiyanti dalam Nazaruddin,
1994; Philips, 1993).
Dirasakan terutama
di daerah / kawasan
yang rentan erosi, untuk
mengurangi tingkat kerusakan tanah, terutama
longsor dan menyangga kestabilan
tanah.
3.
Manfaat
Hidrologis (Dewiyanti dalam Nazaruddin, 1994; Philips, 1993).
Berkaitan dengan kemampuan akar
tanaman untuk menyerap kelebihan
air apabila turun hujan
sehingga air tidak
mengalir dengan sia-sia, sebagai
daerah persediaan air tanah.
4.
Manfaat Klimatologis
(Dewiyanti dalam Nazaruddin, 1994;
Philips, 1993).
Keberadaan ruang terbuka
hijau mempengaruhi faktor-faktor
iklim seperti kelembaban, curah hujan, ketinggian
tempat, dan sinar matahari
yang pada akhirnya membentuk suhu
harian yang normal dan menunjang kegiatan manusia.
5.
Manfaat Edaphis
(Dewiyanti dalam Nazaruddin,
1994).
Mengarah kepada
penyediaan habitat satwa di
perkotaan yang semakin terdesak lingkungannya dan
semakin berkurang tempat huniannya.
6.
Manfaat Ekologis
(Dewiyanti dalam Nazaruddin,
1994).
Suatu sistem
ekologi kota dimana penyeimbangan proporsi
lahan untuk semua makhluk
dapat mendukung keseimbangan
sistem ekologis.
7.
Manfaat Protektif
/ Kenyamanan (Dewiyanti dalam
Nazaruddin, 1994; Philips,
1993).
Perlindungan yang
diberikan oleh ruang terbuka
hijau kepada manusia antara lain
keberadaan pohon / pepohonan
yangmelindungi dari terik matahari, terpaan
angin kencang dan melindungi dari kebisingan.
8.
Manfaat Hygienis
(Dewiyanti dalam Nazaruddin,
1994; Philips, 1993).
Bermanfaat sebagai penyerap emisi
gas di udara
karena dedaunan tanaman mampu menyaring debu dan menghisap kotoran di
udara. B a h k a n t a n a m a n m a m p u menghasilkan gas
oksigen yang sangat dibutuhkan
manusia.
9.
Manfaat Edukatif
(Dewiyanti dalam Nazaruddin, 1994;
Philips, 1993).
Pendidikan dan pengenalan terhadap
makhluk hidup sebagai laboratorium
alam di sekitar manusia merupakan
proses yang baik mengingat adanya
fungsi ekosistem dan simbiosis
yang terjadi di dalamnya.
10. Manfaat Kesehatan
Individu (Dewiyanti dalam
Philips, 1993).
Dengan adanya
kondisi lingkungan yang higienis
(pengadaan RTH perkotaan),
maka tidak terdapat banyak ancaman
kesehatan yang biasanya ditimbulkan
dari lingkungan ataupun dari
polutan-polutan udara.
11. Manfaat Penyimpanan
Energi (Dewiyanti dalam Philips,
1993).
Manfaat yang
dapat dirasakan secara tidak
langsung. Energi yang dapat
disimpan oleh tanaman
dalam RTH antara lain
sinar matahari, energi panas dan sebagainya, nantinya dapat dimanfaatkan oleh
manusia dalam mendukung proses
kehidupan.
CONCLUSION
Perencanaan
serta pembangunan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam
pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan pada umumnya. Karena
tidak bisa dipungkiri lagi bahwasanya RTH tidak dapat lepas dari sistem
lingkungan perkotaan, sehingga hal ini akan kembali lagi pada tujuan dan fungsi
dari Perencanaan dan Pembangunan RTH itu sendiri bagi kota. RTH sendiri adalah
bentuk sebuah reaksi terhadap aktifitas-aktifitas yang dapat ditimbulkan oleh
polutan, yang sifatnya dapat mendegradasi kualitas maupun kuantitas dari dan di
suatu wilayah ataupun kota yang diakibatkan oleh aktifitas manusia-manusia
sendiri dalam suatu sistem wilayah.
RTH pada hakikatnya merupakan
salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting serta dengan unsur
kota lainnya dan memiliki pengaruh sangat positif bagi lingkungan sekitar.
Perbaikan lingkungan tidak perlu diawali dengan langkah besar dan menciptakan
sesuatu yang inovatif, melainkan berawal dari kesadaran diri sendiri yang
nantinya akan memberikan dampak yang luas bagi lingkungan sekitar.
REFERENCES
Dewiyanti, Dhini.
2000. Karakteristik Ruang Bermain Anak.
Tesis Magister Arsitektur. ITB,
Bandung.
Dewiyanti, Dhini.
Tanpa Tahun. Ruang Terbuka Hijau Kota
Bandung, Suatu Tinjauan Awal Taman Kota Terhadap Konsep Kota Layak Anak.
Majalah Ilmiah UNKOM Vol. 7 No. 1.
Ernawi, Imam S..
Tanpa Tahun. Morfologi - Transformasi
Dalam Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan. Dirjen Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum.
Fandeli, Chafid,
dkk. 2004. Perhutanan Kota.
Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Farisanto, Dhani.
2012. Evaluasi program konservasi Guna
Melestarikan Kelangsungan Ekologi Di Taman Tegallega. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Hakim, Rustam.
2004. Arsitektur Lansekap,
Manusia, Alam dan
Lingkungan. Jakarta: FALTL Universitas Trisakti.
Hariyono, Paulus.
2010. Konsep Taman Kota Pada Masyarakat
Jawa Masa Kini. Program Studi Arsitektur Universitas Katolik
Soegijapranata. Local Wisdom Volume 2 No. 3: P.1-3
Majalah Pondok
Indah Healthcare Group, Tanpa Tahun. Taman
Atap.
Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH Di Perkotaan.2005.
Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB
Nazaruddin. 1994.
Penghijauan Kota. Jakarta: PT.
Penebar Swadaya.
Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008
Philips E.
Leonard and ASLA.
1993. Urban Trees
“A Guide for
Selection, Maintenance, and Master Planning”. McGraw-Hill, Inc. USA
Purnomohadi, 2001.
Peran Ruang Terbuka Hijau dalam
Pengendalian Kualitas Udara. IPB, Bogor.
Putri, D.
Gemilang, Soemardiono, Bambang., Dkk. Tanpa Tahun. Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Pusat Kota Ponorogo.
Jurnal Program Magister Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya
Silalahi,
Marlinang I.. 2008. Analisis Pemanfaatan
Air Mancur Taman Kota Di Daerah Padat Lalu-Lintas Terhadap Konsentrasi Polutan
Udara Akibat Kendaraan Bermotor Di Medan. Tesis Program Studi Magister
Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara
Sugiyono. 2011. Metode Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Cv Alfabeta Cetakan Ke-14.
Sukawi. 2008. Taman Kota Dan Upaya Pengurangan Suhu
Lingkungan Perkotaan (Studi Kasus Kota Semarang). Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan
Dalam Mewujudkan Kota Tropis.
Sundari, Eva Siti.
Tanpa Tahun. Studi Untuk Menentukan Fungsi Hutan Kota Dalam Masalah Lingkungan
Perkotaan. Jurnal Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, UNISBA. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar