Sabtu, 08 Desember 2012

JURNAL BAHASA INGGRIS PROFESI: PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA UNTUK MEWUJUDKAN KOTA YANG BERBASIS SUSTAINABLE CITY(Versi Bahasa Indonesia)


PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA UNTUK MEWUJUDKAN KOTA YANG BERBASIS SUSTAINABLE CITY
Oleh:
Ahmat Nurul Fauzar
Jurusan Pendidikan Geografi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang

ABSTRAK
Pengembangan dan pengadaan Ruang Terbuka Hijau Kota dirasa sangat penting bagi setiap kota, karena hal ini akan sangat berfungsi terhadap kondisi lingkungan kota. Tidak hanya dirasa penting, bahkan ini akan menjadi sebuah kebutuhan tersendiri bagi setiap kota, karena Ruang Terbuka Hijau Kota  adalah suatu konsep dimana Ruang Terbuka  Hijau Kota bertujuan untuk memberikan kelengkapan dari aspek lingkungan kota. Ruang Terbuka Hijau pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting serta dengan unsur kota lainnya dan memiliki pengaruh sangat positif bagi lingkungan sekitar. Konsep Ruang Terbuka Hijau Kota ini adalah salah satu bentuk reaksi terhadap segala problem-problem yang berbentuk pencemaran maupun polusi yang bisa saja timbul dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh manusianya dan sekaligus subjek kontrol dalam rangka pembentukan lingkungan kota yang bersih dan teratur serta berbasis cinta lingkungan maupun sustainable city.
Keyword: ruang terbuka hijau kota, konsep, lingkungan, sustainable city

PENDAHULUAN
Isu-isu  mengenai  masalah  lingkungan  hidup yang semakin  menjadi  bahasan  yang  sangat menarik dewasa ini. Salah satu permasalahan yang kini dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan  di  Indonesia  adalah  semakin  berkurangnya  ruang  publik,  terutama  Ruang Terbuka  Hijau  (  RTH  )  publik.  Kota-kota  besar  pada  umumnya  memiliki  ruang terbuka  hijau  dengan  luas  dibawah  10%  dari  luas  kota  itu  sendiri. Melihat  kondisi keruangan pada kota-kota besar seperti saat ini,  terlihat jelas  sekali,  bahwasannya betapa  minimnya  lahan kota yang berwarna hijau,  yang menandakan  akan kurangnya wilayah  Ruang  Terbuka  Hijau maupun Taman Hijau Kota.  Padahal, berdasarkan  KTT  Bumi  di  Rio  de  Janeiro, Brazil  (1992)  dan  dipertegas  lagi  pada  KTT Johanesburg  Afrika  Selatan  10  tahun kemudian  (2002),  disepakati  bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH  minimal  30  %  dari  total luas  kota(koran-jakarta.com, November 2012). Proporsi  30%  luasan  ruang  terbuka  hijau  kota merupakan  ukuran  minimal  untuk  menjamin  keseimbangan  ekosistem  kota  baik  keseimbangan sistem  hidrologi  dan  keseimbangan  mikroklimat,  maupun  sistem  ekologis  lain  yang  dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Putri, dkk., dalam Hakim,2004).
Namun  pembangunan, perencanaan, maupun pengembangan terhadap Ruang Terbuka Hijau Kota tampaknya  bagi  kota-kota  di Indonesia  pada  umumnya  akan sulit  terealisir  karena akibat  terus  adanya tekanan  pertumbuhan  dan  kebutuhan sarana  dan  prasarana  kota,  seperti pembangunan  bangunan  gedung, pengembangan  dan  penambahan  jalur jalan  yang  terus  meningkat  serta peningkatan  jumlah  penduduk. Kalaupun itu bisa terlaksana, maka itu akan berjalan sangat lambat, karena pengembangan RTH Kota-kota besar dirasa sangat kurang, penyebabnya adalah terlalu menonjolnya pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana terutama seperti pengembangan jalan-jalan tambahan, infrastruktur bangunan-bangunan besar, serta tambahan bangunan-bangunan penduduk di sekitarnya, yang menambah jumlah prosentase menurunnya realisasi pengadaan dan pembangunan Ruang Terbuka Hijau di kota-kota besar.
Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk pembangunan   berbagai   fasilitas   perkotaan,   termasuk  kemajuan teknologi, industri dan  transportasi, selain sering mengubah  konfigurasi alami lahan/ bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang  terbuka    lainnya (Lokakarya RTH, 2005).    Ruang-ruang    kota  yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai  pendekatan  dalam  perencanaan dan  pembangunannya.  Tata  guna  lahan, sistem  transportasi,  dan  sistem  jaringan utilitas  merupakan  tiga  faktor utama  dalam  menata  ruang  kota.  
Masalah pada pengadaan ruang hijau pada kota seiring berjalannya waktu kian sulit dan rumit. Karena pada dasarnya penempatan ruang di sisi dan sudut kota juga kian menyempit, sehingga ruang pembangunan di kota masih didominasi oleh hutan beton serta perumahan-perumahan elit.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan  dengan  permasalahan  utama  perkotaan yang    akan    dicari    solusinya    juga  dikaitkan    dengan    pencapaian    tujuan  akhir  dari    suatu    penataan    ruang    yaitu  untuk  kesejahteraan,  kenyamanan,  serta kesehatan  warga  dan  kotanya.  Ruang terbuka  hijau  kota  memiliki  hanyak  fungsi antara  lain  sebagai  area  rekreasi,  sosial budaya,  estetika,  fisik  kota,  ekologis  dan memiliki  nilai  ekonomis  yang  cukup  tinggi bagi manusia maupun bagi pengembangan kota (Silalahi dalam Irwan, 2007).
Dalam  rangka  mendukung  pengendalian  pencemaran yang sangat berpotensi di wilayah kota, seperti pencemaran  udara,  diperlukan  Ruang Terbuka  Hijau  (RTH) maupun Ruang Taman Kota yang  mampu  memulihkan pencemaran udara, antara lain melalui  penetapan  kawasan  lindung.
Ruang  terbuka  hijau  kota  memiliki hanyak  fungsi  antara  lain  sebagai  area rekreasi,  sosial  budaya,  estetika,  fisik kota, ekologis dan memiliki nilai ekonomis yang  cukup  tinggi  bagi  manusia  maupun bagi  pengembangan  kota,  Akibat meningkatnya  pertumbuhan  penduduk serta berbagai aktifitas kota menyebabkan berkurangnya  ruang  terbuka  hijau  kota dan  menurunnya  kualitas  lingkungan hidup  yang  mengakibatkan  terjadinya perubahan  ekosistem  alami  sehingga fungsi dari ruang terbuka hijau tidak dapat dipenuhi.
METHOD
Penelitian  tentang  Ruang  Terbuka  Hijau  pada  kawasan  pusat  kota  ini  merupakan  penelitian kualitatif  dengan  pendekatan  positivistik  yang  memandang  suatu  permasalahan  dalam  konteks lingkungannya  (Putri, dkk. dalam Groat  dan  Wamg,  2002). Metode yang dipakai adalah pengumpulan data sekaligus penganalisaan hasil sampel pengumpulan data proporsi Ruang Terbuka Hijau dari beberapa kota-kota di Indonesia yang telah dihimpun. Yang selanjutnya dari data-data tersebut bisa dianalisis bahwa seberapa besar proporsi dan kuantitas daripada hasil data tersebut yang menunjukkan tingkat pengembangan dari Ruang Terbuka Hijau ini sudah sejauh mana perkembangannya.
RESULT
Dibawah ini merupakan data dari hasil pengumpulan data terhadap perkembangan proporsi Ruang Terbuka Hijau di kota-kota besar Indonesia.

Tabel 1.1
PROPORSI RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA-KOTA BESAR INDONESIA


No
Nama Kota
Proporsi RTH
1
Jakarta
9,97 %
2
Bandung
8,76 %
3
Bogor
19,37 %
4
Surabaya
9%
5
Surakarta
16%
6
Malang
4%
7
Makassar
3%
8
Medan
8%
9
Jambi
4%
10
Palembang
5%




Rataan luas RTH di kota-kota Besar di Indonesia
8,69%



















Sumber  : Nirwono  Joga,  Aspek  Lingkungan  dalam  Pembangunan  Perkotaan Berkelanjutan,  presentasi  dalam  Workshop  Nasional  Pembangunan  Kota yang Berkelanjutan , Jakarta 1 Oktober 2009

Penurunan kualitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia.

PEMBAHASAN
Pada dasarnya Ruang Terbuka (RT), tak harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun syaratnya harus mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Tanpa RT bahkan RTH, maka lingkungan kota akan menjadi ‘Hutan Beton’ yang gersang, akibatnya kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi sebab tidak layak huni (Silalahi dalam Purnomohadi, 2001).
Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi :
1.      Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin.
2.      Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian.
3.      Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain.
4.      Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro, lansekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan  gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali (Silalahi dalam Purnomohadi, 2001; Lokakarya RTH, 2005).
Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya RTH, 2005). Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area genangan (retensi/ retention basin). Di dalam Ruang terbuka non-hijau yang diperkeras (paved) inilah pada umumnya didirikan air mancur (Purnomohadi, 2001).
Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan.  Pengendalian  pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan (Lokakarya RTH, 2005). Maka harusnya RTH juga menjadi sebuah pedoman untuk mengetahui keefektifan dari RTH itu sendiri terhadap perkembangan kemajuan kota tersebut. Karena RTH adalah salah satu elemen dimana lingkungan itu bisa mengikat struktur-struktur dan sitem-sistem yang ada di dalamnya, sehingga hubungan ini akan sangat berpengaruh.
Pembangunan dan pengembangan hutan kota perlu dilakukan dengan pendekatan bentuk dan struktur karena bentuk dan struktur hutan kota mempunyai hubungan yang menguntungkan dengan kualitas lingkungan di sekitarnya dan mempercepat serta mempermudah pelaksanaan pembangunan, pengembangan maupun pemeliharaan hutan kota(Sundari, tanpa tahun).
Berikut Adalah beberapa manfaat yang diperoleh dari pengadaan ruang terbuka hijau kota:
1.      Manfaat  Estetis  (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994).
Diperoleh  dari  keindahan  dan keserasian  penataan  tanaman -tanaman dalam ruang terbuka hijau.
2.      Manfaat  Orologis  (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994; Philips,  1993).
Dirasakan  terutama  di daerah  /  kawasan  yang  rentan  erosi, untuk  mengurangi  tingkat  kerusakan tanah,  terutama  longsor  dan menyangga kestabilan tanah.
3.      Manfaat Hidrologis (Dewiyanti dalam Nazaruddin, 1994; Philips,  1993). 
Berkaitan  dengan kemampuan  akar  tanaman  untuk menyerap  kelebihan  air  apabila  turun hujan  sehingga  air  tidak  mengalir dengan  sia-sia,  sebagai  daerah persediaan air tanah.
4.      Manfaat  Klimatologis  (Dewiyanti dalam Nazaruddin, 1994;  Philips,  1993). 
Keberadaan ruang  terbuka  hijau  mempengaruhi faktor-faktor iklim seperti kelembaban, curah  hujan,  ketinggian  tempat,  dan sinar  matahari  yang  pada  akhirnya membentuk  suhu  harian  yang  normal dan menunjang kegiatan manusia.
5.      Manfaat  Edaphis  (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994).
Mengarah  kepada  penyediaan  habitat satwa  di  perkotaan  yang  semakin terdesak lingkungannya  dan  semakin berkurang tempat huniannya.
6.      Manfaat  Ekologis  (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994).
Suatu  sistem  ekologi  kota  dimana penyeimbangan  proporsi  lahan  untuk semua  makhluk  dapat  mendukung keseimbangan sistem ekologis.
7.      Manfaat  Protektif  /  Kenyamanan (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994;  Philips,  1993).
Perlindungan  yang  diberikan  oleh ruang  terbuka  hijau  kepada  manusia antara  lain  keberadaan  pohon  / pepohonan  yangmelindungi  dari  terik matahari,  terpaan  angin  kencang  dan melindungi dari kebisingan.
8.      Manfaat  Hygienis  (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994; Philips,  1993). 
Bermanfaat  sebagai penyerap  emisi  gas  di  udara  karena dedaunan tanaman mampu menyaring debu dan menghisap kotoran di udara. B a h k a n   t a n a m a n   m a m p u menghasilkan  gas  oksigen  yang sangat dibutuhkan manusia.
9.      Manfaat  Edukatif  (Dewiyanti dalam Nazaruddin,  1994; Philips,  1993).
Pendidikan  dan pengenalan  terhadap  makhluk  hidup sebagai  laboratorium  alam  di  sekitar manusia  merupakan  proses  yang  baik mengingat  adanya  fungsi  ekosistem dan  simbiosis  yang  terjadi  di dalamnya.
10.  Manfaat  Kesehatan  Individu  (Dewiyanti dalam Philips, 1993).
Dengan  adanya  kondisi  lingkungan yang  higienis  (pengadaan  RTH  perkotaan),  maka  tidak  terdapat banyak  ancaman  kesehatan  yang biasanya  ditimbulkan  dari  lingkungan ataupun dari polutan-polutan udara.
11.  Manfaat  Penyimpanan  Energi  (Dewiyanti dalam Philips, 1993).
Manfaat  yang  dapat  dirasakan secara  tidak  langsung.  Energi  yang dapat  disimpan  oleh  tanaman  dalam RTH  antara  lain  sinar  matahari,  energi panas dan sebagainya, nantinya dapat dimanfaatkan  oleh  manusia  dalam mendukung proses kehidupan.

CONCLUSION
Perencanaan serta pembangunan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan pada umumnya. Karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwasanya RTH tidak dapat lepas dari sistem lingkungan perkotaan, sehingga hal ini akan kembali lagi pada tujuan dan fungsi dari Perencanaan dan Pembangunan RTH itu sendiri bagi kota. RTH sendiri adalah bentuk sebuah reaksi terhadap aktifitas-aktifitas yang dapat ditimbulkan oleh polutan, yang sifatnya dapat mendegradasi kualitas maupun kuantitas dari dan di suatu wilayah ataupun kota yang diakibatkan oleh aktifitas manusia-manusia sendiri dalam suatu sistem wilayah.

RTH pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota yang mempunyai peran penting serta dengan unsur kota lainnya dan memiliki pengaruh sangat positif bagi lingkungan sekitar. Perbaikan lingkungan tidak perlu diawali dengan langkah besar dan menciptakan sesuatu yang inovatif, melainkan berawal dari kesadaran diri sendiri yang nantinya akan memberikan dampak yang luas bagi lingkungan sekitar.

REFERENCES

Dewiyanti,  Dhini.  2000.  Karakteristik Ruang  Bermain  Anak.  Tesis  Magister Arsitektur. ITB, Bandung.
Dewiyanti, Dhini. Tanpa Tahun. Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung, Suatu Tinjauan Awal Taman Kota Terhadap Konsep Kota Layak Anak. Majalah Ilmiah UNKOM Vol. 7 No. 1.
Ernawi, Imam S.. Tanpa Tahun. Morfologi - Transformasi Dalam Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan. Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum.
Fandeli, Chafid, dkk. 2004. Perhutanan Kota. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.
Farisanto, Dhani. 2012. Evaluasi program konservasi Guna Melestarikan Kelangsungan Ekologi Di Taman Tegallega. Universitas Pendidikan Indonesia.
Hakim,  Rustam.  2004. Arsitektur  Lansekap,  Manusia,  Alam  dan  Lingkungan.  Jakarta:  FALTL Universitas Trisakti.
Hariyono, Paulus. 2010. Konsep Taman Kota Pada Masyarakat Jawa Masa Kini. Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata. Local Wisdom Volume 2 No. 3: P.1-3
Majalah Pondok Indah Healthcare Group, Tanpa Tahun. Taman Atap.
Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH Di Perkotaan.2005. Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian – IPB
Nazaruddin.  1994. Penghijauan  Kota. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008
Philips  E.  Leonard  and  ASLA.    1993. Urban  Trees  “A  Guide  for  Selection, Maintenance,  and  Master Planning”. McGraw-Hill, Inc. USA
Purnomohadi, 2001. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas Udara. IPB, Bogor.
Putri, D. Gemilang, Soemardiono, Bambang., Dkk. Tanpa Tahun. Konsep Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Pusat Kota Ponorogo. Jurnal Program Magister Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya
Silalahi, Marlinang I.. 2008. Analisis Pemanfaatan Air Mancur Taman Kota Di Daerah Padat Lalu-Lintas Terhadap Konsentrasi Polutan Udara Akibat Kendaraan Bermotor Di Medan. Tesis Program Studi Magister Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Sugiyono. 2011. Metode Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:  Cv Alfabeta Cetakan Ke-14.
Sukawi. 2008. Taman Kota Dan Upaya Pengurangan Suhu Lingkungan Perkotaan (Studi Kasus Kota Semarang).  Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan Dalam Mewujudkan Kota Tropis.
Sundari, Eva Siti. Tanpa Tahun. Studi Untuk Menentukan  Fungsi Hutan Kota Dalam Masalah Lingkungan Perkotaan. Jurnal Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, UNISBA. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar